Blogroll

Senin, 23 Juni 2014

Intertekstual Bongsa Tekat Talabul Ngelmi dan Kitab Ta'limul Muta'allim Thariqatta'allum

          Prinsip Intertekstual
Intertekstual atau hubungan antarteks merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah teks sastra karena sastrawan selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Karya sastra pada dasarnya adalah penerusan konvensi yang sudah ada atau pun penyimpangan meskipun tidak seluruhnya. Hal ini mengingatkan bahwa karya sastra itu karya kreatif yang menghendaki adanya kebaruan, namun tentu tidak baru sama sekali sebab bila sama sekali menyimpang dari konvensi maka ciptaan itu akan tidak dikenal atau pun tidak dimengerti oleh masyarakatnya. Mengenai konvensi sastra yang disampangi atau diteruskan, dapat berupa konvensi bentuk formalnya ataupun isi pikiran, masalah dan tema yang terkandung di dalamnya (Pradopo, 2002: 223)
Pradopo (2002: 228) juga mengungkapakan bahwa sebuah karya sastra (teks sastra) hanya dapat dibaca (ditangkap maknanya) dalam kaitannya dengan teks-teks lain yang menjadi hiprogramnya. Pendekatan intertekstualis ini merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah teks sastra, karena para sastrawan selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya.
Di dalam buku Teori Pengkajian Fiksi oleh Nurgiyantoro menyebutkan peryataan Teew, 1983: 62-5, bahwa kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu,  misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya (Nurgiyantoro, 2002: 50). Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hiporgam ‘hypogram’ (Riffaterre, 1980: 23). Istilah hipogram, dapat diIndonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain. Wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks(-teks) sebelumnya (Teww, 1983: 65). Dalam istilah lain, penerusan tradisi dapat juga disebut sebagai mitos pengukuhan (myth of concern), sedangkan penolakan tradisi sebgai mitos pemberontakan (myth of freedom). Kedua hal tersebut boleh dikatakan sebagai sesuatu yang “wajib” hadir dalam penulisan teks kesastraan, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi, mitos pengukuhan dan mitos pemberontakan (Nurgiyantoro, 1991: 51).
Pendekatan intertekstual merupakan visi kecil dari pendekatan resepsi sastra yang pada nantinya sasaran pendekatan ini adalah gayutan penulisan sebuah karya sastra dengan karya-karya lain, sejauh mana karya sastra yang baru lahir menyerap unsur-unsur tertentu dari karya-karya sebelumnya. Pendekatan intertekstual selalu menekankan pada hubungan sebuah karya sastra dengan karya lain, baik berupa persamaan dan pertentangan (Muzakka, 1995:58)
Adanya karya(-karya) yang ditransformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya(-karya) lain yang diduga menjadi hipogramnya. Adanya unsur hipogram dalam suatu karya, hal itu mungkin disadari mungkin juga tidak disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramnya, mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan, atau sebaliknya menolak, konvensi yang berlaku sebelumnya (Nurgiyantoro, 2002: 52).
Nurgiyantoro menyebutkan bahwa prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya(-karya) yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi. Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain itu, unsur-unsur hipogram itu, berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukan terhadap adanya unsur hipogram pada suatu karya dari karya(-karya) lain pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.
Analisis intertekstual menjadi tahap berikutnya yang paling pokok dalam penelitian ini. Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara naskah BTTN dan kitab TM, yang dapat dilihat melalui keterkaitan antar kajian isi.  Selain itu dalam analisis intertekstual ini juga dibahas mengenai persamaan dan perbedaan isi pada kedua objek tersebut.
Keterkaitan penulis untuk menjadikan naskah BTTN dan kitab TM tersebut sebagai objek penelitian disebabkan oleh beberapa hal. Terutama adalah persamaan dan perbedaan dari segi tata cara menuntut ilmu, kewajiban menuntut ilmu, dan isi di dalam teks antar keduanya yang perlu diketahui oleh khalayak umum. Beberapa persamaan dan perbedaan tersebut mengidentifikasikan adanya hubungan intertekstual antara naskah BTTN dan kitab TM.
      Intertekstual Naskah Bongsa Tekat Talabul Ngelmu dan Kitab Ta’limul Muta’allim
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa untuk mengetahui hubungan intertekstual suatu teks, terlebih dahulu teks tersebut dikontraskan atau disejajarkan dengan hipogramnya. Demikian halnya dalam penelitian ini, supaya proses intertekstual lebih kelihatan berfungsi maka teks naskah BTTN dibaca berdampingan dengan teks lain, yaitu kitab TM.
Naskah BTTN merupakan karangan dari Gusti Kangjeng Pangeran Angabehi IV, pada tahun 1900. Sedangkan kitab TM merupakan karangan Syaikh Az-Zzrnuji, dan buku yang dipakai oleh peneliti adalah kitab terjemahan dari Abdul Kadir Aljufri, tahun 2009. Naskah BTTN merupakan naskah yang lebih tua dibandingkan kitab TM.
Sekilas tampak dari judul kedua teks tersebut ada keterkaitan, yaitu Bongsa Tekat Talabul Ngelmu dan Ta’limul Muta’allim, persamaan ada pada Talabul Ngelmu dan Ta’limul Muta’allim yang sama-sama mengadung arti mencari ilmu. Bahasa yang digunakan dalam teks naskah Bongsa Tekat Talabul Ngelmu sama dengan yang digunakan dalam teks kitab Ta’limul Muta’allim, yaitu bahasa Jawa.
Selain beberapa persamaan di atas, kedua naskah tersebut juga mempunyai beberapa perbedaan. Meskipun bahasa dan ejaan yang digunakan sama tetapi bentuk tulisannya berbeda, BTTN menggunakan aksara Jawa dan TM menggunakan Arab Pegon. Hal lain yang signifikan dan merupakan hipogram dari keterkaitan kedua teks tersebut adalah persamaan dan perbedaan dari hakikat menuntut ilmu/ kewajiban menuntut ilmu, niat menuntut ilmu, kesungguhan dalam mencari ilmu, hakekat murid dan guru, dan hal-hal yang dapat mempermudah datangnya rezeki, sehingga dapat diketahui makna intertekstual di kedua teks tersebut.
Hasil intertekstual yang diperoleh dalam penelitian oleh penulis, adalah sebagai berikut:
      Hakikat Menuntut Ilmu
Bongsa Tekat Talabul Ngelmu      
Dhandhanggula 2:
Semua termasuk dalam olah pikir / adapun perbedaannya pada tiap pribadi / terletak pada rasa dan pendengarannya / jangkauan pengetahuannya / tahu akan hal yang buruk dan arah yang benar / akan bisa selamat saat pelepasan nanti / akan awas penglihatannya / bisa melihat sesuatu yang kasat mata / sesuatu yang masih dalam kegelapan akan bisa terlihat dengan jelas / karena mendapat pencerahan dari yang kuasa (BTTN: hal.153). 
Ta’limul Muta’allim
Pembukaan kitab Ta’limul Muta’allim:
Segala puji hanya milik Allah yang telah mengangkat derajat umat manusia dengan ilmu dan amal, atas seluruh alam (TM : hal.1).
I.Hakikat Ilmu, Fikih, dan Keutamaannya:
Setiap orang Islam wajib mempelajari atau mengetahui rukun maupun syarat amalan ibadah yang akan dikerjakannya untuk memenuhi kewajiban tersebut. Karena sesuatu yang menjadi perantara untuk melakukan kewajiban, maka mempelajari wasilah atau perantara tersebut hukumnya wajib. Ilmu agama adalah ilmu wasilah untuk mengerjakan kewajiban agama. Maka, mempelajari ilmu agama hukumnya wajib. Misalnya ilmu tentang puasa, zakat bila bertahta, haji jika sudah mampu, dan ilmu tentang jual beli jika berdagang (TM : hal.5)
Ilmu itu sangat penting karena ia sebagai perantara (saran) untuk bertaqwa. Dengan takwa inilah manusia menerima kedudukan terhormat di sisi Allah, dan keuntungan abadi. Sebagaimana dikatakan Muhammad bin Al Hasan bin Abdullah dalam syairnya:
“Belajarlah! Sebab ilmu adalah penghias bagi pemiliknya. Jadikan hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna.” Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul. Ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan takwa, ilmu paling lurus untuk dipelajari. Dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Ia laksana benteng yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan (TM : hal.7).
            Di dalam BTTN menerangkan bahwa ilmu termasuk dalam olah pikir. Perbedaan ilmu terdapat pada tiap pribadi, terletak pada rasa dan pendengarannya. Jangkauan pengetahuan yaitu tahu akan hal yang buruk dan hal yang mengarah yang benar. Ilmu dapat membawa keselamatan saat akhir nanti. Kita harus melihat sesuatu yang kasat mata, yang masih dalam kegelapan, akan terlihat dengan jelas, karena mendapat pencerahan dari ilmu, sebab ilmu adalah cahaya dari yang kuasa.
      TM menjelaskan tentang kewajiban menuntut ilmu bagi manusia. Wajib menuntut ilmu yang berkaitan dengan apa yang diperlakukannya saat ini dan untuk kapan saja. lmu itu sangat penting karena ia sebagai perantara (saran) untuk bertaqwa. Dengan takwa inilah manusia menerima kedudukan terhormat di sisi Allah, dan keuntungan abadi. Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul. Ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan takwa, ilmu paling lurus untuk dipelajari. Dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Ia laksana benteng yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan.
        Niat Menuntut Ilmu
                                               Bongsa Tekat Talabul Ngelmu
Dhandahanggula 1:
Niat hati dimulai saat waktu subuh /  di tengah-tengah tabiratul ikhram /  mendapat izin dan rahmat-Nya untuk menyampaikan  ilmu "bangsa tekat talabul ngelmi" / pada bagian napi dan isbat-nya /  digelar di dalam hati /  jangan sampai bercampur dengan keinginan / karena sama pekerjaannya /  sama jenisnya hanya beda namanya (BTTN : hal.153).
Dhandhanggula 3: ketika pada hari Jumat, Kangjeng Nabi beserta keempat sahabat / setelah sholat Jumat semua berkumpul di baitullah / hendak menyampaikan berbagai ilmu pengetahuan / adanya "bangsa tekat"ada empat macam / kangjeng Nabi pelan memulai bicara / wahai Umar, Abubakar, Usman, dan Ali, marilah kita omong-omong sejenak // (BTTN : hal.153).
Dhandhanggula 12:
Niatkan kekuatanmu di dalam batin / benar-benar pertanda yang datang dari Dat / merupakan tugas yang harus dikerjakan / dari bangsa isbat itu / napinya merupakan jenis golongan bersatunya dari berbagai hal / napinya isbatkanlah / itu berarti persatuannya sudah sesuai / seperti pertanda adanya kasih sayang (BTTN : hal.156).
Ta’limul Muta’allim
II. Niat dalam Mencari Ilmu:
Kemudian setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok dari segala amal ibadah. Nabi bersabda, ‘Semua amal itu tergantung pada niatnya.” Hadis sahih (TM : hal.13).
            Rasulullah SAW bersabda, “Banyak perbuatan atau amal yang tampak dalam bentuk amalan keduniaan, tapi karena didasari niat yang baik (ikhlas) maka menjadi atau tergolong amal-amal akhirat. Sebaliknya banyak amalan yang sepertinya tergolong amal akhirat, kemudian menjadi amal dunia, karena didasari niat yang buruk (tidak ikhlas).”(TM : hal.13)
            Niat seorang pelajar dalam menuntut ilmu harus ikhlas mengharap ridha Allah, mencari kebahagiaan di akhirat menghilangkan kebodohan dirinya, dan orang lain menghidupkan agama, dan melestarikan islam. Karena Islam akan tetap lestari kalau Pemeluknya atau umatnya berilmu (TM : hal.14).
            Dalam menuntut ilmu juga harus didasari niat untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Jangan sampai terbesit niat supaya dihormati masyarakat, untuk mendapatkan harta dunia, atau agar mendapat kehormatan di hadapan pejabat atau lainnya (TM : hal.14).
VI.Mulai Mengaji, Ukuran, dan Urutannya:
Hari Rabu adalah hari naas bagi orang kafir, tapi bagi orang mukmin adalah hari yang penuh berkah (TM : hal.18).
            Di dalam BTTN, menuntut ilmu atau pun mengajarkan ilmu diniati dalam hati pada saat shalat subuh, di tengah-tengah takbiratul ikhram. Di tata dalam hati, dalam batin, bahwa menuntut ilmu adalah tugas dan jangan sampai bercampur dengan keinginan. Juga disebutkan hari yang baik ketika Nabi Muhammad menyampaikan ilmu pada hari Jum’at.
            Sedangkan di dalam Ta’limul Muta’allim dijelaskan bahwa niat adalah pokok dari segala amal ibadah. Niat seorang pelajar dalam menuntut ilmu harus ikhlas mengharap ridha Allah, mencari kebahagiaan di akhirat menghilangkan kebodohan dirinya, dan orang lain menghidupkan agama, dan melestarikan islam. Karena Islam akan tetap lestari kalau Pemeluknya atau umatnya berilmu. Dalam menuntut ilmu juga harus didasari niat untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Jangan sampai terbesit niat supaya dihormati masyarakat, untuk mendapatkan harta dunia, atau agar mendapat kehormatan di hadapan pejabat atau lainnya. Hari Rabu adalah hari naas bagi orang kafir, tapi bagi orang mukmin adalah hari yang penuh berkah.
     Kesungguhan dalam mencari Ilmu
     Bongsa Tekat Talabul Ngelmu
Dhandhanggula
3. ketika pada hari Jumat, Kangjeng Nabi beserta keempat sahabat / setelah sholat Jumat semua berkumpul di baitullah / hendak menyampaikan berbagai ilmu pengetahuan / adanya "bangsa tekat"ada empat macam / kangjeng Nabi pelan memulai bicara / wahai Umar, Abubakar, Usman, dan Ali, marilah kita omong-omong sejenak // (BTTN : hal.153).
4. Menurut pemikiran saya, rasa ghaib dari Tuhan Maha Suci itu ada dua perkara / yaitu napi dan isbat / perbedaannya terletak pada pisah dan kumpulnya di dalam rasa empat perkara / pertama adalah kehendak, kedua iklas, ketiga tetap (konsisten), keempat adalah kebulatan tekad / itulah kesempurnaan yang pasti dan mengetahui perbedaan tunggal (BTTN : hal.153-154).
5. ketahuilah berbedaan yang pasti / ketahuilah perbedaan yang nyata / dimanakah letak yang sebenarnya / wahai empat sahabatku / pikirkanlah sebisamu / salah satu yang bisa menerima ilham dari Hyang Agung / sukur juka semuanya mampu menerima, akan menjadi anugerah / jangan sampai membebani pikiran / para sahabat menjawab // (BTTN : hal.154)
9. ragu di hati akan tetapnya napi / napi-kanlah jangan sampai kemasukan hawa nafsu yang membuat kesusahan / bisa menyebabkan kejelekan / di dalam niat menjelang kematian / maka arahkan yang tepat pada keadaan keheningan / isbat-nya keadaan dat / rasa dan penglihatan dat yang sudah pasti / yang akan membimbing harapanmu // (BTTN : hal.155).
10. panca inderamu yang jernih / bersihkanlah dari segala kejelekan angkara murka hati / kukuhkan dengan jiwa yang sabar / sabar dan hati-hati jangan sampai dikesampingkan / ikatlah yang kuat segala kejelekan yang menghalangi kehendak / takut dan kuwatir supaya disingkirkan / karena itu semua akan menjadi cacad yang bisa menggagalkan pelepasan / jika tidak waspada akan hancur disirnakan oleh napi / taklukkanlah napi itu // (BTTN : hal.155)
11. adapun satu hal yang lain adalah dat wajibul wujud / barangkali disitulah sarana mendapat izin / keinginan yang kuat / dilandasi dengan kebenaran / keteguhanmu akan mendapat pencerahan oleh Hyang Agung / itulah jalannya pelepasan / akan selamat jika yakin dan bersandar pada Hyang Widi / dilihat dengan penuh kewaspadaan // (BTTN : hal.155-156).
12. niatkan kekuatanmu di dalam batin / benar-benar pertanda yang datang dari Dat / merupakan tugas yang harus dikerjakan / dari bangsa isbat itu / napinya merupakan jenis golongan bersatunya dari berbagai hal / napinya isbatkanlah / itu berarti persatuannya sudah sesuai / seperti pertanda adanya kasih sayang // (BTTN : hal.156).
     Ta’limul Muta’allim
III. Memilih Ilmu, guru, Teman Belajar, dan Tekun dalam Menimba Ilmu:
Para santri harus memilih ilmu pengetahuan yang paling baik atau paling cocok dengan dirinya. Pertaman-tama yang perlu dipelajari oleh seorang santri adalah ilmu yang paling baik dan yang diperlukannya dalam urusan agama pada saat itu. Kemudian baru ilmu-ilmu yang diperlukannya pada masa yang akan dating (TM : hal.18).
            Ilmu tauhid harus didahulukan, supaya santri mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik. Karena imannya orang yang taklid tanpa mengetahui dalilnya, sekalipun sah menurut pendapat kami, tetapi ia berdosa (TM : hal.18).
            Para santri harus mempelajari ilmunya para ulama salaf (baca: ilmu agama). Para ulama berkata, tetaplah kalian pada ilmunya para nabi, (ilmu agama), dan tinggalkan ilmu-ilmu yang baru. Tinggalkan ilmu debat yang muncul setelah meninggalnya para ulama. Sebab perdebatan akan menjauhkan sesorang dari ilmu fiqih, menyia-nyiakan umur, menimbulkan keresahan, dan permusuhan. Dan apabila umat Muhammad SAW sudah suka berbantah-bantahan di antara mereka, itulah tanda akan datangnya hari kiamat. Tanda bahwa ilmu fiqih semakin menghilang. Demikian menurut hadis Nabi (TM : hal.19).
            Adapun cara memilih guru atau kiai carilah yang alim, yang bersifat wara’. Dan yang lebih tua. Sebagaimana Abu Hanifah memilih kiai Hammad bin Sulaiman, karena beliau (Hammad) mempunyai kriteria atau sifat-sifat tersebut. Maka Abu Hanifah mengaji ilmu kepadanya (TM : hal.20).
Seorang santri harus memilih atau berteman dengan orang yang tekun belajar, bersifat wara’ dan berwatak Istiqamah. Dan orang yang suka memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Dan ia menjauhi teman yang malas, banyak bicara, suka merusak, dan suka memfitnah (TM : hal.25).
Ketahuilah bahwa kesabaran dan ketabahan atau ketekunan adalah pokok dari segala urusan. Tapi jarang sekali orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut, sebagaimana kata sebuah syair yang artinya, “Setiap orang pasti mempunyai hasrat memperoleh kedudukan atau martabat yang mulia, namun jarang sekali orang yang mempunyai sifat sabar, tabah, tekun, dan ulet.” (TM : hal.23)
Ada yang berkata, bahwa keberanian adalah kesabaran menghadap kesulitan dan penderitaan. Oleh karena itu, seorang santri harus berani bertahan dan bersabar dalam mengaji kepada seorang guru dan dalam membaca sebuah kitab. Tidak meninggalkannya sebelum tamat atau selesai. Tidak pindah-pindah dari satu guru ke guru yang lain. Dari satu ilmu ke ilmu yang lain. Padahal ilmu yang dipelajari belum ia kuasai, juga tidak pindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, supaya waktunya tidak terbuang sia-sia (TM : hal.23-24)
V.Tentang Kesungguhan dalam Belajar Ketekunan Cita-cita:
            Para santri harus besungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun. Seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang yang berjihad atau berjuang sungguh-sungguh untuk mencari (keridhaan-Ku), maka benar-benar Aku akan tunjukkan mereka kepada jalan-jalan menuju keridhaan-Ku.” Dikatakan barangsiapa bersungguh-sungguh mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Dan siapa saja yang mau mengetuk pintu, dan maju terus, tentu bisa masuk (TM : hal.39).
Para pelajar harus memanfaatkan masa mudanya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Perhatikan bait syair ini, “Dengan kadar kerja kerasmulah kamu akan diberi apa yang menjadi cita-citamu. Orang yang ingin sukses, harus sedikit mengurangi tidur malam. Gunakan mas mudam sebaik-baiknya, karena masa muda adalah kesempatan yang tidak akan pernah terulang.” (TM : hal.44).
Modal paling pokok ialah kesungguhan. Segala sesuatu bias dicapai asal mau bersungguh-sungguh dan bercita-cita luhur. Barangsiapa bercita-cita ingin menguasai kitab-kitabnya Imam Muhammad bin Al Hasan, asal disertai dengan kesungguhan dan ketekunan, tentu dia akan menguasai seluruhnya, paling tidak sebagian (TM : hal.46).
          Menurut BTTN, kesungguhan dalam menuntut ilmu itu wajib. Mengetahui hal yang belum pernah diketaui, seperti pada rasa ghaib dari Tuhan Maha Suci itu ada dua perkara yaitu napi dan isbat. Perbedaannya terletak pada dipisah dan dikumpulnya di dalam rasa empat perkara yaitu pertama adalah kehendak, kedua iklas, ketiga tetap (konsisten), keempat adalah kebulatan tekad. Itulah Kesempurnaan yang pasti, ketahuilah perbedaan yang pasti, ketahuilah perbedaan yang nyata,  kita harus tahu dimanakah letak yang sebenarnya. Ketika hati masih ragu-ragu untuk mengetahui ilmu, silahkan tenang dan hening, bersihkan panca indera, niatkan kekuatan di dalam batin, benar-benar pertanda yang datang dari Dzat. Merupakan tugas yang harus dikerjakan, sungguh-sungguh untuk mengetahui berbagai hal, agar pertanda adanya kasih sayang yang akan didapat.
Di dalam TM, Para santri harus memilih ilmu pengetahuan yang paling baik atau paling cocok dengan dirinya. Para santri harus mempelajari ilmunya para ulama salaf (baca: ilmu agama). Bersungguh-sungguh mencari ilmu, juga harus mampu memilih guru atau kiai carilah yang alim, yang bersifat wara’. dan yang lebih tua. Seorang santri harus memilih atau berteman dengan orang yang tekun belajar, bersifat wara’ dan berwatak Istiqamah, dan orang yang suka memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Dan ia menjauhi teman yang malas, banyak bicara, suka merusak, dan suka memfitnah.
      Ketahuilah bahwa kesabaran dan ketabahan atau ketekunan adalah pokok dari segala urusan. Ada yang berkata, bahwa keberanian adalah kesabaran menghadap kesulitan dan penderitaan. Oleh karena itu, seorang santri harus berani bertahan dan bersabar dalam mengaji kepada seorang guru dan dalam membaca sebuah kitab. Tidak meninggalkannya sebelum tamat atau selesai.
Para santri harus besungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun. Dikatakan barangsiapa bersungguh-sungguh mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Dan siapa saja yang mau mengetuk pintu, dan maju terus, tentu bisa masuk. Para pelajar harus memanfaatkan masa mudanya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Modal paling pokok ialah kesungguhan. Segala sesuatu bisa dicapai asal mau bersungguh-sungguh dan bercita-cita luhur.
 
       Hakekat Murid dan Guru
Bongsa Tekat Talabul Ngelmu
Sinom
1.      wahai bagaimana para sahabatku / Abubakar, Usman, Ali, dan Umar, kalian semua rasakanlah perbincangan ini / muncul dari ringkasannya / mendapat izin serta berkah nugraha Hyang Suksma / adapun menurut pemahamanku / hanya bersandar pada halangan yang ada, karena hanyalah seorang hamba // (BTTN : hal.157)
2. disini apabila ada salah satu pendapat yang setuju dengan pemikiranku / syukur jika bisa menambahi / sebagai tanda membiasakan / kalian memberilah pengetahuan wajib serta saksi / sehingga bisa benar-benar sentosa // (BTTN : hal.157).
3. semakin bertambah kuat keyakinannya / yang bisa menyebabkan mau bersujud / dengan sangat khusuknya / kemudian berdoa syukur pada Hyang Widi / kemudian semua (sahabat) menjawab dengan pelan / wahai paduka utusan Hyang Agung / yang sebagai penuntun dunia / sungguh-sungguh sebagai panutan hamba / didunia dan di akherat, yang menunjukkan jalan ke syurga// (BTTN : hal.157)
4.sangat banyak nugraha serta berkah paduka untuk semuanya / sampai pada jiwa yang nikmat dan manfaat / mustahil hamba bisa menjawab / malahan hamba memohon sabda paduka Jeng Rasul / Kanjeng Nabi menjawab: syukurlah jika semua menyetujui / jika memang benar maka disaksikan di dalam hati // (BTTN : hal.157)
Ta’limul Muta’allim
IV.Penghormatan Terhadap Ilmu dan Orang Alim:
Para pelajar (santri)  tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat mengambil manfaatnya, tanpa mau menghormati ilmu dan guru (TM : hal.27).
Karena ada yang mengatakan bahwa orang orang yang telah berhasil mereka ketika menuntut ilmu sangat menghormati tiga hal tersebut. Dan orang-orang yang tidak berhasil menuntut ilmu, karena mereka tidak mau menghormati atau memuliakan ilmu dan gurunya. Ada yang mengatakan bahwa menghormati itu lebih baik daripada mentaati. Karena manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tapi dia menjadi kufur karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah (TM : hal.27-28).
Sayidina Ali karramallahu wajhah berkata, “Aku adalah sahay (budak) orang yang mengajarku walau hanya satu huruf, jika dia mau silahkan menjualku, atau memerdekakan aku, atau tetap menjadikan aku sebagai budaknya.” (TM : hal.28)
Ada sebuah syair yang berbunyi, “Tidak ada hak yang lebih besar kecuali haknya guru. Ini wajib dipelihara oleh setiap orang Islam. Sungguh pantas bila seorang guru yang mengajar, walau hanya satu huruf, diberi hadiah seribu dirham sebagai tanda hormat padanya, Sebab guru yang mengajarmu satu huruf yang kamu butuhkan dalam agama, “dia ibarat bapakmu dalam agama.” (TM : hal.28)
Imam Asy-Syairazy, “Guru-guru berkata, “Barangsiapa yang ingin anaknya menjadi orang alim, maka dia harus menghormati para ahli fiqih. Dan member sedekah pada mereka. Jika ternyata anaknya tidak menjadi orang alim, maka cucunya yang akan menjadi orang alim.” (TM : hal.29)
Termasuk menghormati guru ialah, hendaknya seorang murid tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan tidak memulai bicara padanya kecuali dengan ijinnya (TM : hal.29).
             Dalam naskah BTTN, Nabi Muhammad yang kedudukannya sebagai guru, dan ke empat sahabat adalah murid. Diterangkan bahwa, Guru adalah utusan Allah, sebagai penuntun hamba, di dunia dan di akhirat, yang menunjukkan jalan ke surga. Sangat banyak keanugrahan serta berkah guru untuk semuanya, sampai pada jiwa yang nikmat dan manfaat. Kedudukan Guru sangat tinggi, dan harus dihormati dan dimuliyakan.
     Dalam TM, para pelajar (santri)  tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat mengambil manfaatnya, tanpa mau menghormati ilmu dan guru. Karena ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang telah berhasil mereka ketika menuntut ilmu sangat menghormati tiga hal tersebut. Dan orang-orang yang tidak berhasil menuntut ilmu, karena mereka tidak mau menghormati atau memuliakan ilmu dan gurunya. Ada yang mengatakan bahwa menghormati itu lebih baik daripada mentaati. Karena manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tapi dia menjadi kufur karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah.
             Ada sebuah syair yang berbunyi, “Tidak ada hak yang lebih besar kecuali haknya guru. Ini wajib dipelihara oleh setiap orang Islam. Sungguh pantas bila seorang guru yang mengajar, walau hanya satu huruf, diberi hadiah seribu dirham sebagai tanda hormat padanya, Sebab guru yang mengajarmu satu huruf yang kamu butuhkan dalam agama, “dia ibarat bapakmu dalam agama.”
       Hal-hal yang Mendatangkan Rezeki dan Kebaikan
       Bongsa Tekat Talabul Ngelmu
Kinanthi:
1. adapun perilakunya suhut / suhut artinya telah muklis / yaitu muklisnya Hyang Maha Mulya / tidak ada ucapan kasak-kusuk / tidak ada sakit hati, tidak ada benci di hati, tidak suka jika tidak prihatin / (BTTN : hal.162).
2. keadaan Yang Maha Agung / adalah kekuasaan yang penuh moklis / saat Hyang Suksma menciptakan diri kalian, juga menciptakan bumi langit, seisi dunia, serta semuanya yang serba gemerlap //(BTTN : hal.162)
5. yang bepergian tiada ingin kembali / yang telah kembali tidak bepergian lagi / beraneka ciptaan Suksma / mendapat bagian kemurahan Hyang Widi / semua memperoleh kenikmatan / manfaat atas kemurahan Hyang Widi // (BTTN : hal.163).
6. sesungguhnya semua akan rusak / tidak ada satupun yang kekal / hanya manusialah yang dititahkan mempunyai derajat yang paling luhur / ada yang rusak ada yang tidak / hidupnya kekal sendiri / (BTTN : hal.163).
7. sungguh sejatinya hal itu / semua atas izin dan kekuasaan moklis / bersatu dengan moklisnya / tidak ada sifat yang mendua / tetapi ketahuilah perbedaannya tunggal / (BTTN : hal.163)
8. jadi perbedaannya / moklis menerima kasih sayang / kasih sayang Tuhan kepada diri kalian / artinya pemberian yang sejati / dirimu menghadap pada Hyang Suksma / itulah sejatinya moklis // (BTTN : hal.163)
9. di situ letak perbedaannya / segala tingkahmu sudah menyatu / janganlah kalian punya angan-angan / kekuasaan yang meracuni hati / bersyukurlah dan menerima apa adanya / jika mendapat kasih Hyang Widi // (BTTN : hal.163-164)
10. bisanya terwujud jika mempunyai kehendak / kehendak yang menjadi sarana / tidak lain bagi Hyang Suksma / merasuk dan menyatu dalam jiwa / memulai datangnya kehendak / segala kemauanmu selalu dikabulkan / (BTTN : hal.164)
11. hadapkanlah pada arah tempat / yaitu tempatnya Hyang Maha Sukci / yang mengangkat di dalam jiwamu / jiwa sejatimu hening / melingkupi dan dilingkupi / seperti neng (tenang) yang melingkupi ening (hening)/ (BTTN : hal.164)
12. yang diam itu sesungguhnya / itulah yang melingkupi hening / hening dilingkupi tenangmu / sejatinya yang moklis hening / pada berpadunya hening dan tenang kalian / sifatnya dari nama // (BTTN : hal.164)
13. bernama tunggal / satukanlah dengan moklis / mokliskanlah jiwa ragamu / ragamu jadikanlah sejiwa sebagai sarana berserah kasih / (BTTN : hal.164)
14.pisahkan keinginan keberanianmu / tahanlah amarahmu /senang akan kesenangan / hentikanlah, karena bisa menggagalkan penyerahan dirimu / hilangkan dengan hati yang hening/ (BTTN : hal.164)
15. hilangnya rasa diperbaiki / perbaikannya jauhkan dari diri, arahkan pada cipta ripta yang tumbuh pada kehidupannya / barangkali menjadi waspada pada kejadian takdir // (BTTN : hal.164-165).
          Ta’limul Muta’allim
XIII.Hal-hal yang Mendatangkan Rezeki dan yang Menghalanginya, dan yang Menambah Umur dan yang Menguranginya:
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak dapat menolak takdir kecuali berdoa. Dan tidak dapat menambah usia kecuali berbuat baik. Maka sesungguhnya orang laik-laki bisa terhalang rezekinya karena dosa yang dikerjakannya.” (TM : hal.103).
VII.Hal-hal yang Dapat Memperkuat Hafalan dan Melemahkannya:
Mengerjakan salat dengan khusyu’ dan menyibukkan diri untuk mencari ilmu dapat menghilangkan penderitaan dan kesusahan. Sebagaimana dikatakan Syaikh Nashr bin Hasan Al Marghinani kepada dirinya, “Mohonlah pertolongan wahai Nashr bin Hasan, di dalam setiap pengetahuan yang masih tersembunyi, itulah yang dapat mengusir gelisah, sedang selainnya tidak dapat dipercaya.” (TM : hal. 100).
Di dalam naskah BTTN, manusia yang baik adalah berperilaku yang baik, yaitu baiknya menurut Tuhan. Tidak ada ucapan yang tidak baik, sehingga tidak ada sakit hati,  tidak ada benci di hati, tidak suka jika tidak prihatin. Allah memiliki kekuasaan yang penuh kebaikan, menciptakan diri manusia, menciptakan bumi langit, seisi dunia, serta semuanya yang serba gemerlap. Beraneka ciptaan mendapat bagian kemurahan-kemurahan dari-Nya. Sesungguhnya semua akan rusak, tidak ada satupun yang kekal. Hanya manusialah yang dititahkan mempunyai derajat yang paling luhur, ada yang rusak ada yang tidak, hidupnya kekal sendiri, sungguh sejatinya hal itu, semua atas izin dan kekuasaan Allah. Bersatu dengan kebaikan yang diberikan-Nya, tidak ada sifat yang mendua jika kita meyakini ketunggalan-Nya. Sehingga Allah memberikan kasih saying kepada manusia, pemberian sejati. Janganlah manusia punya angan-angan mempunyai kekuasaan, itu hanya akan meracuni hati. Bersyukurlah dan menerima apa adanya jika mendapat kasih dari Allah.
Allah akan mewujudkan kemauan hamba-hamba-Nya. Jika manusia mampu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Bersikap tenang, hening, bersabar, berserah diri, pisahkan keinginan, dan tahan amarah. Hentikan senang akan kesenangan, karena bisa menggagalkan penyerahan diri pada Allah. Manusia harus bisa waspada pada takdir, memperbaiki dari sifat dan sikap yang tidak baik yang tumbuh di kehidupan.
Kitab TM menyebutkan, bahwa Rasulullah bersabda “Tidak dapat menolak takdir kecuali berdoa. Dan tidak dapat menambah usia kecuali berbuat baik. Maka sesungguhnya orang laik-laki bisa terhalang rezekinya karena dosa yang dikerjakannya.” Kemudian, mengerjakan salat dengan khusyu’ dan menyibukkan diri untuk mencari ilmu dapat menghilangkan penderitaan dan kesusahan.

0 komentar :

Posting Komentar