Prinsip Intertekstual
Intertekstual atau
hubungan antarteks merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah
teks sastra karena sastrawan selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis
sebelumnya. Karya sastra pada dasarnya adalah penerusan konvensi yang sudah ada
atau pun penyimpangan meskipun tidak seluruhnya. Hal ini mengingatkan bahwa
karya sastra itu karya kreatif yang menghendaki adanya kebaruan, namun tentu
tidak baru sama sekali sebab bila sama sekali menyimpang dari konvensi maka
ciptaan itu akan tidak dikenal atau pun tidak dimengerti oleh masyarakatnya.
Mengenai konvensi sastra yang disampangi atau diteruskan, dapat berupa konvensi
bentuk formalnya ataupun isi pikiran, masalah dan tema yang terkandung di
dalamnya (Pradopo, 2002: 223)
Pradopo (2002: 228)
juga mengungkapakan bahwa sebuah karya sastra (teks sastra) hanya dapat dibaca
(ditangkap maknanya) dalam kaitannya dengan teks-teks lain yang menjadi
hiprogramnya. Pendekatan intertekstualis ini merupakan salah satu sarana
pemberian makna kepada sebuah teks sastra, karena para sastrawan selalu
menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya.
Di dalam buku Teori Pengkajian Fiksi oleh Nurgiyantoro
menyebutkan peryataan Teew, 1983: 62-5, bahwa kajian intertekstual dimaksudkan
sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang
diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk
menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan,
peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks
yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks
berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya
sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian intertekstual
itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya
tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya
dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap
jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu.
Kajian intertekstual
berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir
dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan
tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan
yang ditulis sebelumnya (Nurgiyantoro, 2002: 50). Karya sastra yang dijadikan
dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hiporgam ‘hypogram’
(Riffaterre, 1980: 23). Istilah hipogram, dapat diIndonesiakan menjadi latar,
yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya
yang lain. Wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah
bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi
dan amanat teks(-teks) sebelumnya (Teww, 1983: 65). Dalam istilah lain, penerusan
tradisi dapat juga disebut sebagai mitos pengukuhan (myth of concern), sedangkan penolakan tradisi sebgai mitos
pemberontakan (myth of freedom).
Kedua hal tersebut boleh dikatakan sebagai sesuatu yang “wajib” hadir dalam
penulisan teks kesastraan, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu
berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi, mitos pengukuhan dan mitos
pemberontakan (Nurgiyantoro, 1991: 51).
Pendekatan
intertekstual merupakan visi kecil dari pendekatan resepsi sastra yang pada nantinya
sasaran pendekatan ini adalah gayutan penulisan sebuah karya sastra dengan
karya-karya lain, sejauh mana karya sastra yang baru lahir menyerap unsur-unsur
tertentu dari karya-karya sebelumnya. Pendekatan intertekstual selalu
menekankan pada hubungan sebuah karya sastra dengan karya lain, baik berupa
persamaan dan pertentangan (Muzakka, 1995:58)
Adanya karya(-karya)
yang ditransformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian
utama kajian intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya
dengan karya(-karya) lain yang diduga menjadi hipogramnya. Adanya unsur
hipogram dalam suatu karya, hal itu mungkin disadari mungkin juga tidak
disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi
hipogramnya, mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan, atau sebaliknya
menolak, konvensi yang berlaku sebelumnya (Nurgiyantoro, 2002: 52).
Nurgiyantoro
menyebutkan bahwa prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami
dan memberikan makna yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi,
penyerapan, atau transformasi dari karya(-karya) yang lain. Masalah
intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan
bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya
dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun
puisi. Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada
dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang
satu dengan teks yang lain itu, unsur-unsur hipogram itu, berdasarkan persepsi,
pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya.
Penunjukan terhadap adanya unsur hipogram pada suatu karya dari karya(-karya)
lain pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.
Analisis
intertekstual menjadi tahap berikutnya yang paling pokok dalam penelitian ini.
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara naskah BTTN dan kitab TM, yang dapat dilihat melalui keterkaitan antar kajian isi.
Selain itu dalam analisis intertekstual ini juga dibahas mengenai persamaan dan
perbedaan isi pada kedua objek tersebut.
Keterkaitan penulis
untuk menjadikan naskah BTTN dan
kitab TM tersebut sebagai objek
penelitian disebabkan oleh beberapa hal. Terutama adalah persamaan dan
perbedaan dari segi tata cara menuntut ilmu, kewajiban menuntut ilmu, dan isi
di dalam teks antar keduanya yang perlu diketahui oleh khalayak umum. Beberapa
persamaan dan perbedaan tersebut mengidentifikasikan adanya hubungan
intertekstual antara naskah BTTN dan
kitab TM.
Intertekstual Naskah Bongsa Tekat Talabul Ngelmu dan Kitab Ta’limul Muta’allim
Sebagaimana telah
diuraikan di atas, bahwa untuk mengetahui hubungan intertekstual suatu teks,
terlebih dahulu teks tersebut dikontraskan atau disejajarkan dengan
hipogramnya. Demikian halnya dalam penelitian ini, supaya proses intertekstual
lebih kelihatan berfungsi maka teks naskah BTTN
dibaca berdampingan dengan teks lain, yaitu kitab TM.
Naskah BTTN merupakan karangan dari Gusti
Kangjeng Pangeran Angabehi IV, pada tahun 1900. Sedangkan kitab TM merupakan karangan Syaikh Az-Zzrnuji,
dan buku yang dipakai oleh peneliti adalah kitab terjemahan dari Abdul Kadir
Aljufri, tahun 2009. Naskah BTTN merupakan
naskah yang lebih tua dibandingkan kitab TM.
Sekilas tampak dari
judul kedua teks tersebut ada keterkaitan, yaitu Bongsa Tekat Talabul Ngelmu dan Ta’limul
Muta’allim, persamaan ada pada Talabul
Ngelmu dan Ta’limul Muta’allim yang
sama-sama mengadung arti mencari ilmu. Bahasa yang digunakan dalam teks naskah Bongsa Tekat Talabul Ngelmu sama dengan
yang digunakan dalam teks kitab Ta’limul
Muta’allim, yaitu bahasa Jawa.
Selain beberapa
persamaan di atas, kedua naskah tersebut juga mempunyai beberapa perbedaan.
Meskipun bahasa dan ejaan yang digunakan sama tetapi bentuk tulisannya berbeda,
BTTN menggunakan aksara Jawa dan TM menggunakan Arab Pegon. Hal lain yang
signifikan dan merupakan hipogram dari keterkaitan kedua teks tersebut adalah
persamaan dan perbedaan dari hakikat menuntut ilmu/ kewajiban menuntut ilmu,
niat menuntut ilmu, kesungguhan dalam mencari ilmu, hakekat murid dan guru, dan
hal-hal yang dapat mempermudah datangnya rezeki, sehingga dapat diketahui makna
intertekstual di kedua teks tersebut.
Hasil intertekstual
yang diperoleh dalam penelitian oleh penulis, adalah sebagai berikut:
Hakikat
Menuntut Ilmu
Bongsa Tekat Talabul
Ngelmu
Dhandhanggula
2:
Semua termasuk dalam
olah pikir / adapun perbedaannya pada tiap pribadi / terletak pada rasa dan
pendengarannya / jangkauan pengetahuannya / tahu akan hal yang buruk dan arah
yang benar / akan bisa selamat saat pelepasan nanti / akan awas penglihatannya
/ bisa melihat sesuatu yang kasat mata / sesuatu yang masih dalam kegelapan
akan bisa terlihat dengan jelas / karena mendapat pencerahan dari yang kuasa (BTTN: hal.153).
Ta’limul Muta’allim
Pembukaan kitab
Ta’limul Muta’allim:
Segala puji hanya
milik Allah yang telah mengangkat derajat umat manusia dengan ilmu dan amal,
atas seluruh alam (TM : hal.1).
I.Hakikat Ilmu,
Fikih, dan Keutamaannya:
Setiap orang Islam
wajib mempelajari atau mengetahui rukun maupun syarat amalan ibadah yang akan dikerjakannya
untuk memenuhi kewajiban tersebut. Karena sesuatu yang menjadi perantara untuk
melakukan kewajiban, maka mempelajari wasilah atau perantara tersebut hukumnya
wajib. Ilmu agama adalah ilmu wasilah untuk mengerjakan kewajiban agama. Maka,
mempelajari ilmu agama hukumnya wajib. Misalnya ilmu tentang puasa, zakat bila
bertahta, haji jika sudah mampu, dan ilmu tentang jual beli jika berdagang (TM : hal.5)
Ilmu itu sangat
penting karena ia sebagai perantara (saran) untuk bertaqwa. Dengan takwa inilah
manusia menerima kedudukan terhormat di sisi Allah, dan keuntungan abadi.
Sebagaimana dikatakan Muhammad bin Al Hasan bin Abdullah dalam syairnya:
“Belajarlah! Sebab ilmu adalah penghias bagi pemiliknya.
Jadikan hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang
berguna.”
Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul. Ilmu yang
dapat membimbing menuju kebaikan dan takwa, ilmu paling lurus untuk dipelajari.
Dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Ia
laksana benteng yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan (TM : hal.7).
Di dalam BTTN menerangkan bahwa ilmu
termasuk dalam olah pikir. Perbedaan ilmu terdapat pada tiap pribadi, terletak
pada rasa dan pendengarannya. Jangkauan pengetahuan yaitu tahu akan hal yang
buruk dan hal yang mengarah yang benar. Ilmu dapat membawa keselamatan saat
akhir nanti. Kita harus melihat sesuatu yang kasat mata, yang masih dalam
kegelapan, akan terlihat dengan jelas, karena mendapat pencerahan dari ilmu,
sebab ilmu adalah cahaya dari yang kuasa.
TM menjelaskan tentang kewajiban
menuntut ilmu bagi manusia. Wajib menuntut ilmu yang berkaitan dengan apa yang
diperlakukannya saat ini dan untuk kapan saja. lmu itu sangat penting karena ia
sebagai perantara (saran) untuk bertaqwa. Dengan takwa inilah manusia menerima
kedudukan terhormat di sisi Allah, dan keuntungan abadi. Belajarlah ilmu agama,
karena ia adalah ilmu yang paling unggul. Ilmu yang dapat membimbing menuju
kebaikan dan takwa, ilmu paling lurus untuk dipelajari. Dialah ilmu yang
menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Ia laksana benteng
yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan.
Niat Menuntut Ilmu
Bongsa Tekat Talabul Ngelmu
Dhandahanggula 1:
Niat hati dimulai
saat waktu subuh / di tengah-tengah tabiratul ikhram / mendapat
izin dan rahmat-Nya untuk menyampaikan ilmu "bangsa tekat talabul
ngelmi" / pada bagian napi dan isbat-nya / digelar
di dalam hati / jangan sampai bercampur dengan keinginan / karena sama
pekerjaannya / sama jenisnya hanya beda namanya (BTTN : hal.153).
Dhandhanggula 3:
ketika pada hari Jumat, Kangjeng Nabi beserta keempat sahabat / setelah sholat
Jumat semua berkumpul di baitullah / hendak menyampaikan berbagai ilmu
pengetahuan / adanya "bangsa tekat"ada empat macam / kangjeng Nabi
pelan memulai bicara / wahai Umar, Abubakar, Usman, dan Ali, marilah kita
omong-omong sejenak // (BTTN : hal.153).
Dhandhanggula 12:
Niatkan kekuatanmu di
dalam batin / benar-benar pertanda yang datang dari Dat / merupakan tugas yang
harus dikerjakan / dari bangsa isbat itu / napinya merupakan jenis golongan
bersatunya dari berbagai hal / napinya isbatkanlah / itu berarti persatuannya
sudah sesuai / seperti pertanda adanya kasih sayang (BTTN : hal.156).
Ta’limul Muta’allim
II. Niat dalam Mencari Ilmu:
Kemudian setiap pelajar harus menata
niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok dari segala amal ibadah.
Nabi bersabda, ‘Semua amal itu tergantung
pada niatnya.” Hadis sahih (TM : hal.13).
Rasulullah SAW bersabda, “Banyak
perbuatan atau amal yang tampak dalam bentuk amalan keduniaan, tapi karena
didasari niat yang baik (ikhlas) maka menjadi atau tergolong amal-amal akhirat.
Sebaliknya banyak amalan yang sepertinya tergolong amal akhirat, kemudian
menjadi amal dunia, karena didasari niat yang buruk (tidak ikhlas).”(TM : hal.13)
Niat seorang pelajar dalam menuntut ilmu harus ikhlas mengharap ridha Allah,
mencari kebahagiaan di akhirat menghilangkan kebodohan dirinya, dan orang lain
menghidupkan agama, dan melestarikan islam. Karena Islam akan tetap lestari
kalau Pemeluknya atau umatnya berilmu (TM
: hal.14).
Dalam menuntut ilmu juga harus didasari
niat untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Jangan sampai terbesit
niat supaya dihormati masyarakat, untuk mendapatkan harta dunia, atau agar
mendapat kehormatan di hadapan pejabat atau lainnya (TM : hal.14).
VI.Mulai Mengaji, Ukuran, dan
Urutannya:
Hari Rabu adalah hari
naas bagi orang kafir, tapi bagi orang mukmin adalah hari yang penuh berkah (TM : hal.18).
Di dalam BTTN, menuntut ilmu atau pun
mengajarkan ilmu diniati dalam hati pada saat shalat subuh, di tengah-tengah
takbiratul ikhram. Di tata dalam hati, dalam batin, bahwa menuntut ilmu adalah
tugas dan jangan sampai bercampur dengan keinginan. Juga disebutkan hari yang
baik ketika Nabi Muhammad menyampaikan ilmu pada hari Jum’at.
Sedangkan di dalam Ta’limul Muta’allim
dijelaskan bahwa niat adalah pokok dari segala amal ibadah. Niat seorang
pelajar dalam menuntut ilmu harus ikhlas mengharap ridha Allah, mencari
kebahagiaan di akhirat menghilangkan kebodohan dirinya, dan orang lain
menghidupkan agama, dan melestarikan islam. Karena Islam akan tetap lestari
kalau Pemeluknya atau umatnya berilmu. Dalam menuntut ilmu juga harus didasari
niat untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Jangan sampai terbesit
niat supaya dihormati masyarakat, untuk mendapatkan harta dunia, atau agar
mendapat kehormatan di hadapan pejabat atau lainnya. Hari Rabu adalah hari naas
bagi orang kafir, tapi bagi orang mukmin adalah hari yang penuh berkah.
Kesungguhan dalam mencari Ilmu
Bongsa Tekat Talabul Ngelmu
Dhandhanggula
3. ketika pada hari Jumat, Kangjeng
Nabi beserta keempat sahabat / setelah sholat Jumat semua berkumpul di
baitullah / hendak menyampaikan berbagai ilmu pengetahuan / adanya "bangsa
tekat"ada empat macam / kangjeng Nabi pelan memulai bicara / wahai Umar,
Abubakar, Usman, dan Ali, marilah kita omong-omong sejenak // (BTTN : hal.153).
4. Menurut pemikiran saya, rasa ghaib
dari Tuhan Maha Suci itu ada dua perkara / yaitu napi dan isbat /
perbedaannya terletak pada pisah dan kumpulnya di dalam rasa empat perkara /
pertama adalah kehendak, kedua iklas, ketiga tetap (konsisten), keempat adalah
kebulatan tekad / itulah kesempurnaan yang pasti dan mengetahui perbedaan
tunggal (BTTN : hal.153-154).
5. ketahuilah
berbedaan yang pasti / ketahuilah perbedaan yang nyata / dimanakah letak yang
sebenarnya / wahai empat sahabatku / pikirkanlah sebisamu / salah satu yang
bisa menerima ilham dari Hyang Agung / sukur juka semuanya mampu menerima, akan
menjadi anugerah / jangan sampai membebani pikiran / para sahabat menjawab // (BTTN : hal.154)
9. ragu di hati akan tetapnya napi
/ napi-kanlah jangan sampai kemasukan hawa nafsu yang membuat
kesusahan / bisa menyebabkan kejelekan / di dalam niat menjelang kematian /
maka arahkan yang tepat pada keadaan keheningan / isbat-nya keadaan dat / rasa
dan penglihatan dat yang sudah pasti / yang akan membimbing harapanmu // (BTTN : hal.155).
10. panca inderamu yang jernih /
bersihkanlah dari segala kejelekan angkara murka hati / kukuhkan dengan jiwa yang
sabar / sabar dan hati-hati jangan sampai dikesampingkan / ikatlah yang kuat
segala kejelekan yang menghalangi kehendak / takut dan kuwatir supaya
disingkirkan / karena itu semua akan menjadi cacad yang bisa menggagalkan
pelepasan / jika tidak waspada akan hancur disirnakan oleh napi / taklukkanlah
napi itu // (BTTN : hal.155)
11. adapun satu hal
yang lain adalah dat wajibul wujud / barangkali disitulah sarana
mendapat izin / keinginan yang kuat / dilandasi dengan kebenaran / keteguhanmu akan
mendapat pencerahan oleh Hyang Agung / itulah jalannya pelepasan / akan selamat
jika yakin dan bersandar pada Hyang Widi / dilihat dengan penuh kewaspadaan //
(BTTN : hal.155-156).
12. niatkan
kekuatanmu di dalam batin / benar-benar pertanda yang datang dari Dat /
merupakan tugas yang harus dikerjakan / dari bangsa isbat itu / napinya
merupakan jenis golongan bersatunya dari berbagai hal / napinya isbatkanlah /
itu berarti persatuannya sudah sesuai / seperti pertanda adanya kasih sayang //
(BTTN : hal.156).
Ta’limul Muta’allim
III. Memilih
Ilmu, guru, Teman Belajar, dan Tekun dalam Menimba Ilmu:
Para santri harus
memilih ilmu pengetahuan yang paling baik atau paling cocok dengan dirinya.
Pertaman-tama yang perlu dipelajari oleh seorang santri adalah ilmu yang paling
baik dan yang diperlukannya dalam urusan agama pada saat itu. Kemudian baru
ilmu-ilmu yang diperlukannya pada masa yang akan dating (TM : hal.18).
Ilmu tauhid harus didahulukan, supaya santri mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan
dalil yang otentik. Karena imannya orang yang taklid tanpa mengetahui dalilnya,
sekalipun sah menurut pendapat kami, tetapi ia berdosa (TM : hal.18).
Para santri harus mempelajari ilmunya para ulama salaf (baca: ilmu agama). Para
ulama berkata, tetaplah kalian pada ilmunya para nabi, (ilmu agama), dan
tinggalkan ilmu-ilmu yang baru. Tinggalkan ilmu debat yang muncul setelah
meninggalnya para ulama. Sebab perdebatan akan menjauhkan sesorang dari ilmu
fiqih, menyia-nyiakan umur, menimbulkan keresahan, dan permusuhan. Dan apabila
umat Muhammad SAW sudah suka berbantah-bantahan di antara mereka, itulah tanda
akan datangnya hari kiamat. Tanda bahwa ilmu fiqih semakin menghilang. Demikian
menurut hadis Nabi (TM : hal.19).
Adapun cara memilih guru atau kiai carilah yang alim, yang bersifat wara’. Dan
yang lebih tua. Sebagaimana Abu Hanifah memilih kiai Hammad bin Sulaiman,
karena beliau (Hammad) mempunyai kriteria atau sifat-sifat tersebut. Maka Abu
Hanifah mengaji ilmu kepadanya (TM :
hal.20).
Seorang santri harus
memilih atau berteman dengan orang yang tekun belajar, bersifat wara’ dan
berwatak Istiqamah. Dan orang yang suka memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadis-hadis Nabi. Dan ia menjauhi teman yang malas, banyak bicara, suka
merusak, dan suka memfitnah (TM :
hal.25).
Ketahuilah bahwa
kesabaran dan ketabahan atau ketekunan adalah pokok dari segala urusan. Tapi
jarang sekali orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut, sebagaimana kata
sebuah syair yang artinya, “Setiap orang
pasti mempunyai hasrat memperoleh kedudukan atau martabat yang mulia, namun
jarang sekali orang yang mempunyai sifat sabar, tabah, tekun, dan ulet.” (TM : hal.23)
Ada yang berkata,
bahwa keberanian adalah kesabaran menghadap kesulitan dan penderitaan. Oleh
karena itu, seorang santri harus berani bertahan dan bersabar dalam mengaji
kepada seorang guru dan dalam membaca sebuah kitab. Tidak meninggalkannya
sebelum tamat atau selesai. Tidak pindah-pindah dari satu guru ke guru yang
lain. Dari satu ilmu ke ilmu yang lain. Padahal ilmu yang dipelajari belum ia
kuasai, juga tidak pindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, supaya
waktunya tidak terbuang sia-sia (TM :
hal.23-24)
V.Tentang Kesungguhan dalam Belajar Ketekunan
Cita-cita:
Para santri harus besungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun. Seperti yang
diisyaratkan dalam Al-Qur’an, “Dan
orang-orang yang berjihad atau berjuang sungguh-sungguh untuk mencari
(keridhaan-Ku), maka benar-benar Aku akan tunjukkan mereka kepada jalan-jalan
menuju keridhaan-Ku.” Dikatakan barangsiapa bersungguh-sungguh mencari
sesuatu tentu akan mendapatkannya. Dan siapa saja yang mau mengetuk pintu, dan
maju terus, tentu bisa masuk (TM :
hal.39).
Para pelajar harus
memanfaatkan masa mudanya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.
Perhatikan bait syair ini, “Dengan kadar
kerja kerasmulah kamu akan diberi apa yang menjadi cita-citamu. Orang yang
ingin sukses, harus sedikit mengurangi tidur malam. Gunakan mas mudam sebaik-baiknya,
karena masa muda adalah kesempatan yang tidak akan pernah terulang.” (TM : hal.44).
Modal paling pokok
ialah kesungguhan. Segala sesuatu bias dicapai asal mau bersungguh-sungguh dan
bercita-cita luhur. Barangsiapa bercita-cita ingin menguasai kitab-kitabnya
Imam Muhammad bin Al Hasan, asal disertai dengan kesungguhan dan ketekunan,
tentu dia akan menguasai seluruhnya, paling tidak sebagian (TM : hal.46).
Menurut BTTN, kesungguhan dalam
menuntut ilmu itu wajib. Mengetahui hal yang belum pernah diketaui, seperti
pada rasa ghaib dari Tuhan Maha Suci itu ada dua perkara yaitu napi dan isbat.
Perbedaannya terletak pada dipisah dan dikumpulnya di dalam rasa empat perkara
yaitu pertama adalah kehendak, kedua iklas, ketiga tetap (konsisten), keempat
adalah kebulatan tekad. Itulah Kesempurnaan yang pasti, ketahuilah perbedaan
yang pasti, ketahuilah perbedaan yang nyata, kita harus tahu dimanakah
letak yang sebenarnya. Ketika hati masih ragu-ragu untuk mengetahui ilmu,
silahkan tenang dan hening, bersihkan panca indera, niatkan kekuatan di dalam
batin, benar-benar pertanda yang datang dari Dzat. Merupakan tugas yang harus
dikerjakan, sungguh-sungguh untuk mengetahui berbagai hal, agar pertanda adanya
kasih sayang yang akan didapat.
Di dalam TM, Para santri harus memilih ilmu pengetahuan yang paling baik
atau paling cocok dengan dirinya. Para santri harus mempelajari ilmunya para
ulama salaf (baca: ilmu agama). Bersungguh-sungguh mencari ilmu, juga harus
mampu memilih guru atau kiai carilah yang alim, yang bersifat wara’. dan yang
lebih tua. Seorang santri harus memilih atau berteman dengan orang yang tekun
belajar, bersifat wara’ dan berwatak Istiqamah, dan orang yang suka memahami
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Dan ia menjauhi teman yang malas,
banyak bicara, suka merusak, dan suka memfitnah.
Ketahuilah bahwa kesabaran dan ketabahan atau ketekunan adalah pokok dari
segala urusan. Ada yang berkata, bahwa keberanian adalah kesabaran menghadap
kesulitan dan penderitaan. Oleh karena itu, seorang santri harus berani
bertahan dan bersabar dalam mengaji kepada seorang guru dan dalam membaca
sebuah kitab. Tidak meninggalkannya sebelum tamat atau selesai.
Para santri harus
besungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun. Dikatakan barangsiapa
bersungguh-sungguh mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Dan siapa saja
yang mau mengetuk pintu, dan maju terus, tentu bisa masuk. Para pelajar harus memanfaatkan masa mudanya untuk
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Modal paling pokok ialah kesungguhan.
Segala sesuatu bisa dicapai asal mau bersungguh-sungguh dan bercita-cita luhur.
Hakekat Murid dan Guru
Bongsa Tekat Talabul Ngelmu
Sinom
1. wahai bagaimana para
sahabatku / Abubakar, Usman, Ali, dan Umar, kalian semua rasakanlah
perbincangan ini / muncul dari ringkasannya / mendapat izin serta berkah
nugraha Hyang Suksma / adapun menurut pemahamanku / hanya bersandar pada
halangan yang ada, karena hanyalah seorang hamba // (BTTN : hal.157)
2. disini apabila ada salah satu
pendapat yang setuju dengan pemikiranku / syukur jika bisa menambahi / sebagai
tanda membiasakan / kalian memberilah pengetahuan wajib serta saksi / sehingga
bisa benar-benar sentosa // (BTTN :
hal.157).
3. semakin bertambah kuat keyakinannya
/ yang bisa menyebabkan mau bersujud / dengan sangat khusuknya / kemudian
berdoa syukur pada Hyang Widi / kemudian semua (sahabat) menjawab dengan pelan
/ wahai paduka utusan Hyang Agung / yang sebagai penuntun dunia / sungguh-sungguh
sebagai panutan hamba / didunia dan di akherat, yang menunjukkan jalan ke
syurga// (BTTN : hal.157)
4.sangat banyak
nugraha serta berkah paduka untuk semuanya / sampai pada jiwa yang nikmat dan
manfaat / mustahil hamba bisa menjawab / malahan hamba memohon sabda paduka
Jeng Rasul / Kanjeng Nabi menjawab: syukurlah jika semua menyetujui / jika
memang benar maka disaksikan di dalam hati // (BTTN : hal.157)
Ta’limul Muta’allim
IV.Penghormatan Terhadap Ilmu dan Orang
Alim:
Para pelajar
(santri) tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat mengambil
manfaatnya, tanpa mau menghormati ilmu dan guru (TM : hal.27).
Karena ada yang
mengatakan bahwa orang orang yang telah berhasil mereka ketika menuntut ilmu
sangat menghormati tiga hal tersebut. Dan orang-orang yang tidak berhasil
menuntut ilmu, karena mereka tidak mau menghormati atau memuliakan
ilmu dan gurunya. Ada yang mengatakan bahwa menghormati itu lebih baik daripada
mentaati. Karena manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tapi dia menjadi
kufur karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah (TM : hal.27-28).
Sayidina Ali
karramallahu wajhah berkata, “Aku adalah
sahay (budak) orang yang mengajarku walau hanya satu huruf, jika dia mau
silahkan menjualku, atau memerdekakan aku, atau tetap menjadikan aku sebagai
budaknya.” (TM : hal.28)
Ada sebuah syair yang
berbunyi, “Tidak ada hak yang lebih besar
kecuali haknya guru. Ini wajib dipelihara oleh setiap orang Islam. Sungguh
pantas bila seorang guru yang mengajar, walau hanya satu huruf, diberi hadiah
seribu dirham sebagai tanda hormat padanya, Sebab guru yang mengajarmu satu
huruf yang kamu butuhkan dalam agama, “dia ibarat bapakmu dalam agama.” (TM : hal.28)
Imam Asy-Syairazy, “Guru-guru berkata, “Barangsiapa yang ingin
anaknya menjadi orang alim, maka dia harus menghormati para ahli fiqih. Dan
member sedekah pada mereka. Jika ternyata anaknya tidak menjadi orang alim,
maka cucunya yang akan menjadi orang alim.” (TM : hal.29)
Termasuk menghormati
guru ialah, hendaknya seorang murid tidak berjalan di depannya, tidak duduk di
tempatnya, dan tidak memulai bicara padanya kecuali dengan ijinnya (TM : hal.29).
Dalam naskah BTTN,
Nabi Muhammad yang kedudukannya sebagai guru, dan ke empat sahabat adalah
murid. Diterangkan bahwa, Guru adalah utusan Allah, sebagai penuntun hamba, di
dunia dan di akhirat, yang menunjukkan jalan ke surga. Sangat banyak
keanugrahan serta berkah guru untuk semuanya, sampai pada jiwa yang nikmat dan
manfaat. Kedudukan Guru sangat tinggi, dan harus dihormati dan dimuliyakan.
Dalam TM, para pelajar (santri) tidak akan memperoleh ilmu dan
tidak akan dapat mengambil manfaatnya, tanpa mau menghormati ilmu dan guru.
Karena ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang telah berhasil mereka ketika
menuntut ilmu sangat menghormati tiga hal tersebut. Dan orang-orang yang tidak
berhasil menuntut ilmu, karena mereka tidak mau menghormati atau memuliakan
ilmu dan gurunya. Ada yang mengatakan bahwa menghormati itu lebih baik daripada
mentaati. Karena manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tapi dia
menjadi kufur karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah.
Ada sebuah syair yang berbunyi, “Tidak ada hak yang lebih
besar kecuali haknya guru. Ini wajib dipelihara oleh setiap orang Islam.
Sungguh pantas bila seorang guru yang mengajar, walau hanya satu huruf, diberi
hadiah seribu dirham sebagai tanda hormat padanya, Sebab guru yang mengajarmu
satu huruf yang kamu butuhkan dalam agama, “dia ibarat bapakmu dalam agama.”
Hal-hal yang Mendatangkan Rezeki dan Kebaikan
Bongsa
Tekat Talabul Ngelmu
Kinanthi:
1. adapun perilakunya suhut / suhut
artinya telah muklis / yaitu muklisnya Hyang Maha Mulya / tidak ada ucapan
kasak-kusuk / tidak ada sakit hati, tidak ada benci di hati, tidak suka jika
tidak prihatin / (BTTN : hal.162).
2. keadaan Yang Maha Agung / adalah
kekuasaan yang penuh moklis / saat Hyang Suksma menciptakan diri kalian, juga
menciptakan bumi langit, seisi dunia, serta semuanya yang serba gemerlap //(BTTN : hal.162)
5. yang bepergian
tiada ingin kembali / yang telah kembali tidak bepergian lagi / beraneka
ciptaan Suksma / mendapat bagian kemurahan Hyang Widi / semua memperoleh
kenikmatan / manfaat atas kemurahan Hyang Widi // (BTTN : hal.163).
6. sesungguhnya semua akan rusak /
tidak ada satupun yang kekal / hanya manusialah yang dititahkan mempunyai
derajat yang paling luhur / ada yang rusak ada yang tidak / hidupnya kekal
sendiri / (BTTN : hal.163).
7. sungguh sejatinya hal itu / semua
atas izin dan kekuasaan moklis / bersatu dengan moklisnya / tidak ada sifat
yang mendua / tetapi ketahuilah perbedaannya tunggal / (BTTN : hal.163)
8. jadi perbedaannya / moklis menerima
kasih sayang / kasih sayang Tuhan kepada diri kalian / artinya pemberian yang
sejati / dirimu menghadap pada Hyang Suksma / itulah sejatinya moklis // (BTTN : hal.163)
9. di situ letak
perbedaannya / segala tingkahmu sudah menyatu / janganlah kalian punya
angan-angan / kekuasaan yang meracuni hati / bersyukurlah dan menerima apa
adanya / jika mendapat kasih Hyang Widi // (BTTN
: hal.163-164)
10. bisanya terwujud jika mempunyai
kehendak / kehendak yang menjadi sarana / tidak lain bagi Hyang Suksma /
merasuk dan menyatu dalam jiwa / memulai datangnya kehendak / segala kemauanmu
selalu dikabulkan / (BTTN : hal.164)
11. hadapkanlah pada arah tempat /
yaitu tempatnya Hyang Maha Sukci / yang mengangkat di dalam jiwamu / jiwa
sejatimu hening / melingkupi dan dilingkupi / seperti neng (tenang) yang
melingkupi ening (hening)/ (BTTN :
hal.164)
12. yang diam itu sesungguhnya / itulah
yang melingkupi hening / hening dilingkupi tenangmu / sejatinya yang moklis
hening / pada berpadunya hening dan tenang kalian / sifatnya dari nama // (BTTN : hal.164)
13. bernama tunggal / satukanlah dengan
moklis / mokliskanlah jiwa ragamu / ragamu jadikanlah sejiwa sebagai sarana
berserah kasih / (BTTN : hal.164)
14.pisahkan keinginan keberanianmu /
tahanlah amarahmu /senang akan kesenangan / hentikanlah, karena bisa
menggagalkan penyerahan dirimu / hilangkan dengan hati yang hening/ (BTTN : hal.164)
15. hilangnya rasa diperbaiki /
perbaikannya jauhkan dari diri, arahkan pada cipta ripta
yang tumbuh pada kehidupannya / barangkali menjadi waspada pada kejadian takdir
// (BTTN : hal.164-165).
Ta’limul Muta’allim
XIII.Hal-hal yang Mendatangkan Rezeki
dan yang Menghalanginya, dan yang Menambah Umur dan yang Menguranginya:
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak dapat menolak takdir kecuali berdoa.
Dan tidak dapat menambah usia kecuali berbuat baik. Maka sesungguhnya orang
laik-laki bisa terhalang rezekinya karena dosa yang dikerjakannya.” (TM : hal.103).
VII.Hal-hal yang Dapat Memperkuat
Hafalan dan Melemahkannya:
Mengerjakan salat dengan khusyu’ dan
menyibukkan diri untuk mencari ilmu dapat menghilangkan penderitaan dan
kesusahan. Sebagaimana dikatakan Syaikh Nashr bin Hasan Al Marghinani kepada
dirinya, “Mohonlah pertolongan wahai
Nashr bin Hasan, di dalam setiap pengetahuan yang masih tersembunyi, itulah
yang dapat mengusir gelisah, sedang selainnya tidak dapat dipercaya.” (TM : hal. 100).
Di dalam naskah BTTN, manusia yang baik adalah
berperilaku yang baik, yaitu baiknya menurut Tuhan. Tidak ada ucapan yang tidak
baik, sehingga tidak ada sakit hati, tidak ada benci di hati, tidak suka
jika tidak prihatin. Allah memiliki kekuasaan yang penuh kebaikan, menciptakan
diri manusia, menciptakan bumi langit, seisi dunia, serta semuanya yang serba
gemerlap. Beraneka ciptaan mendapat bagian
kemurahan-kemurahan dari-Nya. Sesungguhnya semua akan rusak, tidak ada
satupun yang kekal. Hanya manusialah yang dititahkan mempunyai derajat yang
paling luhur, ada yang rusak ada yang tidak, hidupnya kekal sendiri, sungguh
sejatinya hal itu, semua atas izin dan kekuasaan Allah. Bersatu dengan kebaikan
yang diberikan-Nya, tidak ada sifat yang mendua jika kita meyakini
ketunggalan-Nya. Sehingga Allah memberikan kasih saying kepada manusia,
pemberian sejati. Janganlah manusia punya angan-angan mempunyai kekuasaan, itu
hanya akan meracuni hati. Bersyukurlah dan menerima apa adanya jika mendapat
kasih dari Allah.
Allah akan mewujudkan
kemauan hamba-hamba-Nya. Jika manusia mampu menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya. Bersikap tenang, hening, bersabar, berserah diri, pisahkan
keinginan, dan tahan amarah. Hentikan senang akan kesenangan, karena bisa
menggagalkan penyerahan diri pada Allah. Manusia harus bisa waspada pada
takdir, memperbaiki dari sifat dan sikap yang tidak baik yang tumbuh di
kehidupan.
Kitab TM menyebutkan, bahwa Rasulullah
bersabda “Tidak dapat menolak takdir
kecuali berdoa. Dan tidak dapat menambah usia kecuali berbuat baik. Maka
sesungguhnya orang laik-laki bisa terhalang rezekinya karena dosa yang
dikerjakannya.” Kemudian, mengerjakan salat dengan khusyu’ dan menyibukkan
diri untuk mencari ilmu dapat menghilangkan penderitaan dan kesusahan.
0 komentar :
Posting Komentar